
ilustrasi
"Perlu ada ketegasan dalam menerapkan
aturan hukum dan sanksi apabila diperlukan"
Malang-Radius – Pernikahan usia dini semakin banyak terjadi di Indonesia. Budaya tradisional masih mewarnai maraknya pernikahan usia muda. Psikolog menilai bahwa pernikahan usia dini merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak.
Awal Januari 2021, masyarakat dihebohkan dari tayangan sebuah video pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tradisi ‘Merariq’ menjadikan masyarakat setempat melumrahkan pernikahan anak di bawah umur.
Adalah MI dan AN, kedua pasangan ini menikah saat masih berusia 16 tahun. Keduanya memutuskan menikah lantaran takut pada ibunya, setelah dimarahi karena menginap di rumah temannya.
Ada juga rekaman video lainnya yang terjadi di Lombok Tengah, NTB, antara mempelai laki-laki, S berusia 15 tahun dan mempelai perempuan, NH berusia 12 tahun. Awalnya pernikahan tersebut tidak direncanakan. Namun orang tua si perempuan memaksa agar pernikahan dilangsungkan karena S seringkali mengajak putrinya jalan-jalan hingga larut malam. Karena keduanya masih anak-anak, pernikahan itu tidak melibatkan Kantor Urusan Agama (KUA). Dilakukan secara agama saja.
Kasus selanjutnya yang masih terngiang di pikiran kita, adalah pernikahan Pujiono Cahyo Widianto atau lebih dikenal dengan Syekh Puji pada agustus 2008. Pada saat itu, Pujiono berusia 43 tahun, meminang gadis berusia 12 tahun asal Semarang berinisial LU, yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Pernikahan dini antara AR yang masih remaja dengan dua perempuan sekaligus. Kedua istrinya sama sama berusia 16 tahun.(insidelombok)
Selama pandemi, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI (PUSLIT BKD) mencatat adanya 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, yang mana 97 persen telah dikabulkan. Anehnya, juga muncul Aisha Weddings yang menawarkan jasa pernikahan siri dan poligami, serta mendukung perempuan untuk menikah sejak usia 12 tahun. Tentu saja hal ini ramai diperbincangkan di jagad sosial media.
“Meningkatnya angka perkawinan anak, terlebih pada masa pandemi ini, dapat memperbesar peluang terjadinya kemiskinan antargenerasi. Generasi dari keluarga miskin kemudian lahir keluarga dan masyarakat miskin baru,” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy saat memberikan arahan pada webinar Pencegahan Perkawinan Anak, Sabtu (25/09/2021).
Perkawinan anak menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Secara global, praktik perkawinan anak terus menurun di berbagai negara di dunia. United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2018 memperkirakan sekitar 21 persen perempuan muda usia 20 hingga 24 tahun melangsungkan perkawinan pada usia anak-anak, termasuk di Indonesia.
Syekh Puji atau Pujiono Cahyo Widiato membuat heboh saat menikahi Lutfiana Ulfa, bocah berumur 12 tahun. (youtube)
Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistika (BPS) menyatakan pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di bawah umur sebanyak 1.220.990 atau setara 11,21 persen. Angka ini menempatkan Indonesia berada di urutan ke-10 Negara dengan kasus perkawinan anak tertinggi di dunia dan menduduki peringkat tertinggi nomor 2 di Asia Tenggara.
Terdapat 20 provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia memiliki angka prevalensi tinggi (jumlah keseluruhan kasus) dan masih berada di atas angka rata-rata nasional. Provinsi tersebut adalah Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Ada lebih dari satu juta anak perempuan yang menikah di bawah umur.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut meski Indonesia mengalami penurunan angka selama beberapa tahun terakhir, namun angka tersebut relatif masih tinggi.
Pada tahun 2017, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 11,54 persen. Angka tersebut turun pada tahun 2018 menjadi 11,21 persen dan pada tahun 2019 turun lagi menjadi 10,82 persen. Serta tahun 2020, angka perkawinan anak terus menurun walau tak terlalu jauh mencapai 10,19 persen.
Temuan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa anak yang lebih rentan terhadap perkawinan anak adalah anak perempuan, anak yang tinggal di keluarga miskin, di pedesaan dan memiliki pendidikan rendah.
Sebenarnya ada banyak faktor mengapa perkawinan anak menjadi hal yang lazim di Indonesia. Data Susenas 2018 memperlihatkan tingkat capaian pendidikan anak-anak yang melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki rata-rata lama sekolah tidak sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
Beberapa penelitian sebelumnya oleh (United Nations Population Fund) UNFPA tahun 2012 serta penelitian UNICEF & UNFPA tahun 2018, menunjukkan bahwa kemiskinan juga mendorong anak-anak untuk melakukan perkawinan, terutama di negara berkembang.
Faktor tradisi dan agama turut menyumbang naiknya angka perkawinan anak di bawah umur. Ada beberapa tradisi yang menghalalkan perkawinan anak seperti “merariq” di Lombok. Perempuan ‘dilarikan’ ke rumah laki-laki untuk dapat dinikahkan. Tradisi ini dilakukan karena kekhawatiran orang tua setelah anaknya berpacaran atau bertunangan.
Sayekti Pribadiningtyas, S.Psi, M.Pd. (ist)
Sayekti Pribadiningtyas, S.Psi, M.Pd, Psikolog, mengatakan bahwa faktor ekonomi dan dorongan dari keluarga terutama yang berada di wilayah pedesaan, menjadi penyumbang kasus perkawinan anak. Selain itu, faktor pendidikan orang tua juga menjadi penyebab tingginya angka perkawinan anak di Indonesia.
Pada tahun 2020, angka pernikahan anak di bawah umur dari data dispensasi yang mendaftar di Pengadilan Agama (PA), untuk Kota Malang terdapat 1.481 pasangan yang telah disetujui. Sedangkan di Kabupaten Malang, sebanyak 1.726 pernikahan di bawah umur, dan sebanyak 105 perkawinan anak di bawah umur terjadi di Kota Batu.
“Di Malang Raya angkanya cukup tinggi dan masih harus diberikan edukasi secara lintas sektor untuk menjangkau daerah-daerah secara menyeluruh. Perlu ada ketegasan dalam menerapkan aturan hukum dan sanksi apabila diperlukan,” kata Nining, sapaan akrab Sayekti Pribadiningtyas, kepada Radius.
Untuk mengurangi angka perkawinan anak ini, Nining yang juga Ketua Yayasan Psikolog Malang, menyarankan untuk memberikan edukasi yang dilakukan di sekolah sejak jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Edukasi tersebut diberikan terkait fungsi reproduksi, kematangan psikologis, dan makna serta hakekat perkawinan.
“Perasaan jatuh cinta atau sekurang-kurangnya ketertarikan yang dirasakan, dianggap sebagai hal besar dan harus diwujudkan secara serius yang dimaknai sebagai perkawinan,” tandasnya.
Sejatinya, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun, akan memiliki kerentanan yang lebih besar, baik secara akses pendidikan, kualitas kesehatan, dan berpotensi mengalami tindak kekerasan.
Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan nantinya, serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi.
Tentu hal ini menjadi catatan khusus bagi pemangku kepentingan agar memberikan perhatian lebih untuk mencegah praktik perkawinan anak. Pemerintah telah merespon dengan beberapa terobosan kebijakan, di antaranya perubahan usia minimum menikah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2019. Pada pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun, dari sebelumnya 16 tahun.
Upaya lainnya melalui pasal 26 ayat 1 UU nomor 23 tahun 2002 yang menyatakan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk melakukan pencegahan perkawinan anak. Selain itu pemerintah Indonesia juga menunjukkan komitmennya melalui penetapan target penurunan perkawinan anak secara nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dari 11,2 persen di tahun 2018 menjadi 8,74 persen di tahun 2024.
Lembaga-lembaga mitra kerja pemerintah juga mengembangkan beberapa program seperti kampanye nasional stop perkawinan anak, Kota layak Anak, Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), serta pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual.
Keputusan DPR menaikkan usia minimum perempuan menikah menjadi 19 tahun merupakan langkah maju yang perlu diapresiasi. Namun ada tantangan yang lebih berat. Di balik langkah peningkatan usia minimum pernikahan, justru dikhawatirkan terjadi upaya menyembunyikan perkawinan anak. Jika itu terjadi, target yang dilakukan oleh RPJMN untuk menurunkan prevalensi perkawinan anak ke 8,74 persen di tahun 2024 akan sulit dicapai.
Reporter : shintya juliana putri
Editor : chusnun hadi