img-detail

Ilustrasi

Lalu lalang kendaraan tidak pernah berhenti. Jalanan di desa maupun kota dipadati oleh kendaraan. Gemerlap lampu menghiasi jalan-jalan. Tidak seperti hari normal biasanya. Toko-toko kue tidak kehabisan pelanggan yang mengunjunginya. Begitu pun dengan toko baju yang selalu padat pengunjung, Itulah pemandangan yang akan dijumapi saat mendekati hari lebaran.

Tidak heran jika toko-toko baju besar, yang ada di kota maupun di desa selalu merekrut karyawan baru. Karyawan kontrak satu bulan kerja, selama bulan Ramadhan. Bukan hanya toko-toko besar, di pasar tradisional juga banyak “pedagang kaget”, pedagang yang berjualan secara dadakan. Mereka siap memenuhi permintaan konsumen.

Setiap mendekati Idhul Fitri, semua toko baju tidak akan kekurangan pembeli. Market place juga tidak akan kehilangan cara untuk memasarkan produknya. Misalnya program Sale atau cuci gudang hingga diskon abisss sampai menjelang malam takbir.

Dalam penelitian analisis Habriyanto, konsumsi masyarakat di bulan ramadhan menunjukkan bahwa 95% responden menyatakan terjadi peningkatan pola konsumsi. Termasuk pada pembelian pakaian. Banyak orang yang akan membeli pakaian saat menyambut Idul Fitri.

Di Indonesia, tradisi membeli baju baru saat lebaran seakan sudah melekat. Mendarah daging. Bahkan, kebiasaan setahun sekali ini diistimewakan bukan hanya bagi pemeluk agama Islam, namun juga non Islam.

Dikutip dalam buku Sejarah Nasional Indonesia karya Poesponegoro, membeli baju baru saat lebaran konon dimulai pada abad ke-16 di Banten, Jawa Barat. Pada masa kesultananan Banten. Sultan selalu ingin menyambut hari raya Idhul Fitri dengan keadaan yang suci, bersih, dan seperti terlahir Kembali. Salah satunya disimbolkan dengan memakai baju baru yang masih belum pernah digunakan.

Hingga akhirnya, kebiasaan yang dilakukan oleh sultan Banten ini menjadi kebiasaan dan menyebar luas di masyarakat Banten. Saat itu, masyarakat Banten yang dalam keadaan mampu berbondong-bondong membeli baju baru. Sementara dari kalangan biasa, hanya membeli kain yang diperuntukkan untuk dijahit menjadi baju baru.

Jauh dari tradisi yang sudah dilakukan oleh masyarakat Banten, Nabi Islam pernah menganjurkan umat muslim mengenakan pakaian terbaik saat hari raya. Namun sebetulnya, yang dimaksud terbaik tidak harus baju baru. Dalam catatan sejarah, tradisi membeli baju baru telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Snouck Hurgronje, seorang penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda mencatat kebiasaan atau tradisi baju baru saat Lebaran dimulai awal abad ke-20.

Catatan tentang tradisi memakai baju baru saat lebaran Snouck Hurgronje ditemukan dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904. Surat ini kemudian dibukukan dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya di Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV.

Dalam suratnya, Snouck menjelaskan bahwa, “Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,"

Snouck juga menambahkan bahwa tradisi memakai baju baru saat hari raya mirip dengan kebiasaan di Eropa saat merayakan hari besar. "Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa," tulis Snouck dalam buku berjudul Islam di Hindia Belanda.

Namun dalam peristiwa yang terjadi dalam membeli baju baru saat lebaran, muncul kesenjangan sosial antara masyarakat kecil dengan kaum pejabat pribumi. Hal ini disampaikan oleh Kees Van Dijk, seorang politisi asal Belanda. Berbeda dengan para pejabat bumi putera, rakyat kecil justru hanya memiliki sedikit pilihan dalam membeli pakaian baru. Pakaian rakyat biasanya perpaduan mode setempat dengan gaya muslim di India dan Arab.

Hal itu membuat Kees Van Dijk menulis artikel “Sarung, Jubah, dan Celana merupakan Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi” yang dimuat dalam Outward Appearances. Tulisan itu menjelaskan bahwa Bupati dan kepala wilayah biasanya melengkapi penampilan mereka dengan pakaian pribumi berupa kain ketat atau pantalon berbenang emas, dengan sepatu bot dan taji untuk sepatu menurut gaya Eropa.

Harian De Locomotif terbitan 30 Desember 1899 menggambarkan suasana rakyat kecil saat hari raya Idul Fitri. Dijelaskan bahwa rakyat kelas kebawah mulai berpakaian Barat mengikuti kebiasaan pejabat bumiputera kecuali kain penutup kepalanya. Rakyat tidak lagi hanya mengenakan sarung dan peci baru, tapi juga dengan sepatu dan celana panjang. Maka dari itu, rakyat dengan kelas menengah kebawah mulai memiliki keleluasaan memilih model pakaian Lebaran pada awal tahun 1900.

Keleluasaan rakyat memilih model pakaian yang dipakai saat lebaran kemudian mendorong pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda. Mode pakaian pun kian beragam dan pangsa pasar meluas. Sayangnya, saat mengalami resesi pada 1930, penjualan menurun. Pasokan barang yang melimpah di pasaran mengalami kemerosotan harga yang tajam. Namun dengan perkembangan sampai saat ini, tradisi membeli baju baru saat lebaran masih melekat dalam di Masyarakat.

Penulis : Windi Ayu
Editor : Rendra Saputra
Ilustrasi : Azzam
Publisher: Lazuardi Ansori