img-detail

ilustrasi

Ada satu cocoklogi yang menarik untuk dibedah lebih dalam. Menyoal pertanyaan anak muda yang sedang menjadi mahasiswa dan kerap bertanya mengapa orang-orang dewasa cenderung tidak menyukai hari Senin? Padahal bagi mereka, semua hari adalah sama saja. Ini memiliki keterkaitan erat dengan sejarah penamaan hari yang akan diulas dalam beberapa paragraf setelah ini.

“Ya kan? Kakak saya sangat tidak suka dengan hari senin padahal bagi saya semua hari sama saja,” ungkap Nadis menceritakan kakaknya yang sudah selesai kuliah dan bekerja.

Sedikit mengulas hal itu, sebetulnya orang dewasa bukan membenci harinya. Tetapi kebencian mereka lebih mengarah pada apa yang harus dilakukan orang-orang dewasa ketika hari senin tiba. Hal ini tentunya memiliki keterkaitan dengan aktivitas pekerjaan yang bertentangan dengan apa yang disukai oleh orang tersebut sehingga lambat laun mulai membencinya.

Dan kebencian orang dewasa terhadap hari senin juga memiliki irisan dengan sejarah penamaan hari itu sendiri. Perlu diketahui, hari senin diambil dari kata itsnain dalam bahasa Arab yang memiliki arti kedua. Cocokloginya, sebetulnya orang-orang tidak membenci hari senin dari segi harinya. Tapi sepertinya mereka benci jika harus menjadi yang kedua dalam urusan cinta seperti asal usul penyebutan nama hari senin itu sendiri.

“Biasanya dia bilang, kok cepet ya besok udah senin,” kata Nadis menirukan.

Seperti yang telah diketahui, dalam satu minggu ada tujuh hari, yaitu: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Inilah yang digunakan semua orang di dunia, untuk menentukan waktu bekerja, bersekolah, dan sebagainya. Adapun jumlah hari yang tujuh sebetulnya sesuai dengan waktu yang dibutuhkan bulan untuk bertransisi, diantara setiap fase penuh, setengah memudar, baru dan setengah membesar.

Lantaran siklus bulan adalah 29,53 hari, orang Babilonia akan memasukkan satu atau dua hari ke dalam minggu terakhir setiap bulan. Penetapan jumlah hari dalam seminggu adalah tujuh hari, pertama kali dilakukan oleh bangsa Babilonia pada sekitar abad ke-6 SM. Pada saat itu, hari belum dinamai, hanya disebut sebagai hari pertama, hari kedua, dan seterusnya.

Lalu kemudian pada zaman Romawi Kuno, saat kekuasaan berada di tangan Julius Caesar, hari-hari itu diberi nama. Nama-nama hari terinspirasi dari dari tata surya yang terdiri dari matahari, bulan, dan enam planet yang dikenal saat itu. Nama hari itu kemudian menginspirasi penamaan hari dalam bahasa Inggris, yang kemudian dipakai oleh mayoritas manusia di zaman sekarang.

Ada pula yang berpendapat bahwa perhitungan hari yang tujuh beserta penamaannya di masa dahulu berkaitan erat dengan mitologi. Pendapat ini diperkuat jika kita melihat penamaan hari dalam bahasa Eropa, mereka menamai sebagian besar hari menurut nama dewa-dewa. Seperti hari Matahari menjadi Sunnandaeg atau Sunday (Minggu), hari Bulan dinamakan Monandaeg, atau Monday (Senin), hari Mars menjadi hari Tiw, yaitu dewa perang mereka.

Ini menjadi Tiwesdaeg, atau Tuesday (Selasa). Nama Dewa Woden diberikan menjadi Wednesday (Rabu). Hari Yupiter, dewa guntur, menjadi hari guntur Dewa Thor, dan ini menjadi Thursday (Kamis). Hari berikutnya dinamakan Frigg, istri Dewa Odin, dan oleh karena itu kita mempunyai Friday (Jumat). Hari Saturnus menjadi Saeterbsdaeg, terjemahan dari bahasa Romawi, dan kemudian menjadi Saturday (Sabtu).

Karena dari semua benda-benda langit itu matahari merupakan benda yang paling mengesankan, maka timbul pula kepercayaan bahwa matahari merupakan dewa tertinggi dengan bermacam-macam sebutan, Ra, Zeus, Indra, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam bahasa Spanyol dan Portugis, hari pertama, yaitu “Hari Matahari”, disebut “Hari Tuhan”, Domingo, yang memberi nama kita nama Hari Minggu.

Maka hari yang tujuh adalah bekas praktik kekafiran, syirik, atau paganisme. Demikian yang diungkapkan oleh Prof. Nurcholis Madjid yang mengutip ilmuwan ahli mitologi terkenal, Joseph Campbell, dalam karyanya yang berjudul Myths to Live By. Sehingga dalam dunia Islam, penamaan hari yang tujuh itu dilakukan proses demitologi.

Dengan cara merekonstruksi penamaan terhadap hari yang pada mulanya menggunakan nama dewa, lalu diganti menjadi angka. Hari ke satu, dua, tiga, dan seterusnya. Sampai pada hari jumat yang berarti terkumpul karena pada hari itu umat Islam terutama laki-laki berkumpul untuk melakukan ibadah di masjid.

Dalam bahasa Indonesia, penamaan terhadap hari yang tujuh sangat dipengaruhi oleh dunia Islam. Bisa dilihat, semua nama hari yang dipakai oleh orang Indonesia bermula dari penamaan hari dalam bahasa Arab. Senin (isnain), Selasa (sulasa’), Rabu (arbia’), Kamis (khamis). Jumat (Jumuah), Sabtu (sabt). Ahad (ahad).

Sayangnya, ada penamaan hari yang pada mulanya lumrah dipakai oleh masyarakat dan kini sudah mulai ditinggalkan. Yaitu penyebutan hari Ahad yang lambat laun diganti Minggu. Bahkan bisa dibuktikan, anak-anak muda hari ini mungkin sudah jarang yang menyebut hari itu menggunakan nama Ahad melainkan menyebutnya dengan nama Minggu.

Dalam sejarahnya, nama hari Minggu sebetulnya belum pernah dikenal sebelum bangsa Portugis datang. Karena, ketika bangsa Portugis datang ke Nusantara pada abad ke-16 dengan membawa serta tradisi dan bahasanya. Mereka -orang Portugis- menyebut hari itu dengan kata 'Domingo' yang lambat laun diikuti oleh orang Indonesia dan menjadi 'Minggu' dalam pelafalan kita.

Dengan begitu, mana yang lebih baik, menyebut hari Ahad atau Minggu? Sila tentukan pilihan dengan konsekuensi logis pada masing-masing pemaknaan.

Penulis : Al Ghozali
Reviewer : Rendra Saputra
Ilustrasi : Azzam Fakhri
Publisher: Lazuardi Ansori