img-detail

Para Sapeurs dan Sapeus dengan pakaian-pakaian brandednya. (ist)

Internasional, Radius – Penganut La Sape mengutamakan fashion daripada kebutuhan mereka secara ekonomi. Bahkan, mereka rela kesusahan demi mendapatkan sanjungan dari orang-orang terkait penampilannya.

La Sape merupakan sebuah subkultur yang yang berpusat pada kota-kota Kinshasa, Republik Demokratik Kongo dan Brazzaville, Republik Kongo. Komunitas ini dikenal karena pilihan hidupnya yang ekstrem, mereka rela hidup susah asal bisa tampil gaya.

Seorang penganut La Sape disebut sebagi Sapeurs. Gerakan La Sape dijadikan sebagai bentuk ekspresi sosial dari orang-orang yang pernah dijajah. Para Sapeurs menggunakan gerakan ini sebagai pelarian dari kesengsaraan yang mereka alami.

Dalam komunitas La Sape, para penganutnya menjunjung tinggi keanggunan dalam gaya berpakaian dan tata krama layaknya konglomerat saat zaman kolonial. Mereka selalu mengenakan pakaian mahal, mewah, dan berkelas agar terlihat seperti kaum burjois.

Untuk tetap tampil dengan pakaian yang mewah, para anggota La Sape ini rela menghabiskan uang hasil jerih payah mereka untuk membeli pakaian terbaik yang menarik perhatian. Bahkan, mereka tidak segan membeli pakaian dari merek terkenal, seperti Louis Vuitton, Gucci, Cartier, Givenchy, Dolce & Gabbana, dan lainnya.

Tidak hanya itu, mereka bahkan rela tidak makan, meminjam uang, hingga mencuri untuk memenuhi hasrat tersebut. Mereka lebih rela susah dalam memenuhi kebutuhan hidup daripada melepas hobi memakai pakaian desainer ternama Eropa atau setelan branded.

Di Kongo, praktik ini telah berlangsung sejak akhir tahun 1980-an. Dalam naskah New York Times yang terbit pada tahun 1988, dituliskan bahwa harga busana Sapeurs rata-rata tiga kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka.

Dalam buku karya Tariq Zaidi yang berjudul “Sapeurs: Ladies and Gentlemen of the Congo”, seorang Sapeur rela menabung selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan uang hingga USD2.000 atau sekitar Rp28 juta. Hal itu dilakukan demi membeli sebuah setelan trendy rancangan desainer ternama dan menjaga citra mereka.

Prioritas penganut La Sape bukan lagi perihal kestabilan ekonomi, melainkan adalah tampil trendy. Mereka lebih memilih menjadi trend-setter di dalam komunitasnya. “Mereka lebih suka menghabiskan USD100-200 untuk membeli kemeja daripada menabung untuk membeli rumah atau mobil atau motor,” ungkap Zaidi.

Para Sapeurs mengklaim inspirasinya dalam bergaya berasal dari merek pakaian pria kelas atas Eropa. Pakaian yang dikenakan dipilih berdasarkan harmoni warna. Warna primer dicocokkan dengan warna primer dan berlaku hal yang sama untuk warna sekunder dan tersier.

Para Sapeurs berjalan di lingkungan masyarakat yang kumuh. (ist)

Hal yang membangkitkan kegembiraan dan kesenangan bagi para Sapeurs adalah berjalan-jalan di lingkungan lokal. Setiap akhir pekan, Sapeurs berkumpul di tepi jalan yang dipadati para pedagang kaki lima. Di tempat itulah mereka memamerkan busana yang dikenakan.

Meski tidak ada hadiah nyata dari “pertunjukan” yang Sapeurs suguhkan, pujian dari warga yang melihat membuat mereka lebih senang. Karena, Sapeurs hanya mementingkan sebuah pengakuan bahwa setelan yang melekat pada mereka terbilang menawan.

Tampilan yang dianggap keren tersebut membuat nama mereka dielu-elukan di tempat umum. Kejadian seperti pernah terjadi pada Maxime Pivot, seseorang yang pernah menyandang predikat Sapeurs terbaik. Bila Pivot datang ke pasar, para pedagang menyorakkan namanya. Seolah selebritis, bahkan ada pula para pedagang yang menyalami dan berusaha memegangnya.

Hal serupa juga terjadi pada seorang lansia bernama Severin Muengo. Dia kerap diikuti oleh anak-anak dan dipanggil namanya saat berjalan-jalan. Hal itu membuatnya bangga seolah dirinya adalah orang terkaya dan perasaan bangga yang diibaratkan seperti di surga.

Sejatinya, budaya La Sape diturunkan melalui garis laki-laki. Namun, sudah banyak pula para wanita Kongo yang mulai mengenakan setelan desainer dan menjadikan dirinya sebagai Sapeus, sebutan penganut La Sape bagi wanita.

Bahkan, menurut Zaidi, La Sape sudah dianggap sebagai bagian kehidupan dari Kongo. “Ada bar dan klub khusus Sapeurs di setiap distrik, dan ada pengelompokan Sapeurs di lingkungan sekitar. Ada juga kompetisi yang bersahabat, yang mendorong Sapeurs untuk tampil dengan desain yang lebih menarik dan unik,” paparnya.

Namun, seiring berkembangnya zaman, beberapa Sapeurs berusaha untuk menemukan keseimbangan antara penampilan yang terlihat memukau dan kondisi ekonomi terkait pengeluaran yang mereka bayar untuk setelan impiannya.

Para Sapeurs mulai memahami pemaknaan La Sape. Bahwa, gerakan atau budaya tersebut bukan tentang pakaian bermerek saja, melainkan mengembangkan rasa yang sempurna. Mereka menekankan pada belajar berpakaian dengan baik tetapi sesuai kemampuan seseorang.

Asal-Usul La Sape

Seorang pria penganut La Sape. (ist)

La Sape adalah singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People. Sape mengisyaratkan kata slang Prancis yang berarti berdandan.

Asal-usul budaya ini memiliki cerita yang berbeda, tetapi tetap mengerucut pada budaya yang menjunjung tinggi fashion. Versi pertama, La Sape diyakini bermula di awal abad ke-20 saat masa penjajahan Belgia-Prancis, di mana budak Kongo diberi pakaian sebagai kompensasi atas pekerjaan yang mereka lakukan.

Hal tersebut lantas mempengaruhi para budak Kongo untuk memerangi rasa rendah diri dan menumbuhkan kepercayaan diri di tengah situasi yang buruk. Para pembantu ini bergaya menyesuaikan tuannya, dengan tambahan item fashion yang dilebih-lebihkan.

Di luar jam kerja, para pria Kongo mulai berpakaian seperti “pria Prancis” yang fashionable. Ditandai dengan pakaian warna-warni, sepatu mewah, aksesoris seperti topi bowler, tongkat, dan kacamata hitam. Dengan pakaian seperti itu, mereka merasa keren dan mendapatkan energi serta kegembiraan.

Sedangkan, versi kedua, menurut Hannah Rose Steinkopf-Frank dalam artikelnya yang berjudul “La Sape: Tracing the History and Future of the Congo's Well Dressed Men”, fenomena La Sape dibentuk oleh remaja asal Kongo yang pindah ke Paris, Prancis.

Pada tahun 1976, seorang remaja pria bernama Jean Marc Zeita membentuk perkumpulan imigran muda asal Kongo yang diberi nama Aventuries. Mereka meniru gaya penampilan orang Prancis yang kemudian budaya itu dibawa pulang ke kampung halaman.

Naasnya, para remaja Sapeur di paris ini bukanlah orang kaya. Bahkan, untuk membeli pakaian mahal, mereka menceburkan diri ke perdagangan narkoba. Menurut Hannah, para Sapeur di Paris ini memanfaatkan pakaian rapi sebagai citra kesuksesan.

Hingga budaya tersebut terus berkembang di Kongo sebagai sebuah hal yang lebih dari subkultur. La Sape menjadi gerakan di mana para kaum muda menggunakan fashion sebagai cara untuk menavigasi perjalanan bangsa mereka, dari negara berkembang menjadi negara kosmopolitan yang penuh harapan di masa depan.

Sekilas Tentang Kongo

Potret masyarakat Kongo yang mengantri air bersih. (ist)

Negara Kongo dikenal dengan Sungai Kongo yang merupakan sungai terdalam di dunia. Kongo juga menjadi negara yang memiliki tambang emas yang besar, serta pemandangan yang indah.

Namun, kehidupan sehari-hari di Kongo berada dalam kesulitan. Masyarakat Kongo juga kesusahan dalam mendapatkan air bersih, padahal mereka tinggal di dekat sungai terdalam di dunia tersebut.

Pada tahun 2018, diperkirakan 73 persen dari populasi Kongo, setara dengan 60 juta orang dari 86 juta jiwa, hidup dengan kurang dari USD1,90 per hari atau setara dengan Rp27.000 yang termasuk dalam tingkat kemiskinan internasional.

Dilansir dari laman Kedutaan Besar Republik Indonesia di Nairobi, Kenya, perkembangan ekonomi Republik Demokratik Kongo (RDK) terbilang cukup lambat. Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi RDK hanya mencapai 4,3 persen.


Penulis: Eka Putri Pratiwi

Editor: Azizatul Nur Imamah

Publisher: Prasetyani Ayu Z.